Contoh Makalah budaya akademik, etos kerja, sikap terbuka serta adil dalam pandangan agama Islam
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masaalah
Budaya
Akademik (Academic Culture) dapat dipahami sebagai suatu totalitas dari
kehidupan dan kegiatan akademik yang dihayati, dimaknai dan diamalkan oleh
warga masyarakat akademik, di lembaga pendidikan tinggi dan lembaga penelitian.
Kehidupan dan kegiatan akademik diharapkan selalu berkembang, bergerak maju bersama dinamika perubahan dan pembaharuan sesuai tuntutan zaman. Perubahan dan pembaharuan dalam kehidupan dan kegiatan akademik menuju kondisi yang ideal senantiasa menjadi harapan dan dambaan setiap insan yang mengabdikan dan mengaktualisasikan diri melalui dunia pendidikan tinggi dan penelitian, terutama mereka yang menggenggam idealisme dan gagasan tentang kemajuan.
Kehidupan dan kegiatan akademik diharapkan selalu berkembang, bergerak maju bersama dinamika perubahan dan pembaharuan sesuai tuntutan zaman. Perubahan dan pembaharuan dalam kehidupan dan kegiatan akademik menuju kondisi yang ideal senantiasa menjadi harapan dan dambaan setiap insan yang mengabdikan dan mengaktualisasikan diri melalui dunia pendidikan tinggi dan penelitian, terutama mereka yang menggenggam idealisme dan gagasan tentang kemajuan.
Etos
berasal dari bahasa Yunani (etos) yang memberikan arti sikap, kepribadian,
watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki
oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat.
sikap
terbuka antara lain adalah jujur, dan ini merupakan ajaran akhlak yang penting
di dalam Islam. Selain itu dalam agama islamkita diharapkan dapat berlaku Adil.
Dari
ketiga hal diatas penulis berkeinginan membuat sebuah makalah yang berjudul
“Budaya akademik dan etos kerja serta sikap terbuka dan adil dalam islam”
B.
Rumusan
Masaalah
1. Memahami
budaya akademik dalam pandangan islam
2. Etos
kerja, sikap terbuka serta adil menurut perspektif agama Islam
C.
Manfaat
Kita
dapat memahami budaya akademik, etos kerja, sikap terbuka serta adil dalam
pandangan agama Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Budaya Akademik
·
Pengertian
Budaya Akademik.
Cara hidup masyarakat ilmiah yang
majemuk, multikultural yang bernaung dalam sebuah institusi yang mendasarkan
diri pada nilai-nilai kebenaran ilmiah dan objektifitas. Budaya Akademik
(Academic Culture) dapat dipahami sebagai suatu totalitas dari kehidupan dan
kegiatan akademik yang dihayati, dimaknai dan diamalkan oleh warga masyarakat
akademik, di lembaga pendidikan tinggi dan lembaga penelitian.Kehidupan dan
kegiatan akademik diharapkan selalu berkembang, bergerak maju bersama dinamika
perubahan dan pembaharuan sesuai tuntutan zaman. Perubahan dan pembaharuan
dalam kehidupan dan kegiatan akademik menuju kondisi yang ideal senantiasa
menjadi harapan dan dambaan setiap insan yang mengabdikan dan mengaktualisasikan
diri melalui dunia pendidikan tinggi dan penelitian, terutama mereka yang
menggenggam idealisme dan gagasan tentang kemajuan. Perubahan dan pembaharuan
ini hanya dapat terjadi apabila digerakkan dan didukung oleh pihak-pihak yang
saling terkait, memiliki komitmen dan rasa tanggung-jawab yang tinggi terhadap
perkembangan dan kemajuan budaya akademik.
Budaya akademik
sebenarnya adalah budaya universal. Artinya, dimiliki oleh setiap orang yang
melibatkan dirinya dalam aktivitas akademik. Membangun budaya akademik bukan
perkara yang mudah. Diperlukan upaya sosialisasi terhadap kegiatan akademik,
sehingga terjadi kebiasaan di kalangan akademisi untuk melakukan norma-norma
kegiatan akademik tersebut. Pemilikan budaya akademik ini seharusnya menjadi
idola semua insan akademisi perguruaan tinggi, yakni dosen dan mahasiswa.
Derajat akademik tertinggi bagi seorang dosen adalah dicapainya kemampuan
akademik pada tingkat guru besar (profesor). Sedangkan bagi mahasiswa adalah
apabila ia mampu mencapai prestasi akademik yang setinggi-tingginya.
Khusus bagi mahasiswa,
faktor-faktor yang dapat menghasilkan prestasi akademik tersebut ialah
terprogramnya kegiatan belajar, kiat untuk berburu referensi aktual dan
mutakhir, diskusi substansial akademik, dsb. Dengan melakukan aktivitas seperti
itu diharapkan dapat dikembangkan budaya mutu (quality culture) yang secara
bertahap dapat menjadi kebiasaan dalam perilaku tenaga akademik dan mahasiswa
dalam proses pendidikan di perguruaan tinggi. Oleh karena itu, tanpa melakukan
kegiatan-kegiatan akademik, mustahil seorang akademisi akan memperoleh
nilai-nilai normative akademik. Bisa saja ia mampu berbicara tentang norma dan
nilai-nilai akademik tersebut didepan forum namun tanpa proses belajar dan
latihan, norma-norma tersebut tidak akan pernah terwujud dalam praktik
kehidupan sehari-hari. Bahkan sebaliknya, ia tidak segan-segan melakukan
pelanggaran dalam wilayah tertentu, baik disadari ataupun tidak.
Kiranya,
dengan mudah disadari bahwa perguruan tinggi berperan dalam mewujudkan upaya
dan pencapaian budaya akademik tersebut. Perguruan tinggi merupakan wadah
pembinaan intelektualitas dan moralitas yang mendasari kemampuan penguasaan
IPTEK dan budaya dalam pengertian luas disamping dirinya sendirilah yang
berperan untuk perubahan tersebut.
Berarti
budaya akademik :
1. Mahasiswa yang terlibat dalam berbagai bidang
studi dan keahlian
(disiplin ilmu).
2. Bernaung dibawah Institusi Educative
(Perguruan Tinggi) yaitu:
- Akademi
- Universitas
- Sekolah Tinggi
- Institut, dll
3. Memfokuskan diri pada kajian Ilmu,
Penelitian, Penemuan dan sebagainya
secara ilmiah.
4. Untuk pengembangan ilmu baru dan bermanfaat
bagi kehidupan masyarakat atau Perguruan Tinggi yang mendorong mahasiswa
melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat).
·
Pembahasan
Tentang Budaya Akademik
Dari berbagai Forum terbuka tentang
pembahasan Budaya Akademik yang berkembang di Indonesia, menegaskan tentang
berbagai macam pendapat di antaranya :
1)
Konsep dan Ciri-Ciri Perkembangan Budaya Akademik
Dalam situasi yang
sarat idealisme, rumusan konsep dan pengertian tentang Budaya Akademik yang
disepakati oleh sebagian besar responden adalah budaya atau sikap hidup yang
selalu mencari kebenaran ilmiah melalui kegiatan akademik dalam masyarakat
akademik, yang mengembangkan kebebasan berpikir, keterbukaan, pikiran
kritis-analitis, rasional dan obyektif oleh warga masyarakat yang akademik.
Konsep
dan pengertian tentang Budaya Akademik tersebut didukung perumusan
karakteristik perkembangannya yang disebut “Ciri-Ciri Perkembangan Budaya
Akademik” yang meliputi berkembangnya :
(1)
penghargaan terhadap pendapat orang lain secara obyektif
(2)
pemikiran rasional dan kritis-analitis dengan tanggungjawab moral
(3)
kebiasaan membaca
(4)
penambahan ilmu dan wawasan
(5)
kebiasaan meneliti dan mengabdi kepada masyarakat
(6)
penulisan artikel, makalah, buku
(7)
diskusi ilmiah
(8)
proses belajar-mengajar, dan
(9) manajemen perguruan
tinggi yang baik
2)
Tradisi Akademik
Pemahaman mayoritas
responden mengenai Tradisi Akademik adalah tradisi yang menjadi ciri khas kehidupan
masyarakat akademik dengan menjalankan proses belajar-mengajar antara dosen dan
mahasiswa, menyelenggarakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, serta
mengembangkan cara-cara berpikir kritis-analitis, rasional dan inovatif di
lingkungan akademik.
Tradisi
menyelenggarakan proses belajar-mengajar antara guru dan murid, antara pandito
dan cantrik, antara kiai dan santri sudah mengakar sejak ratusan tahun yang
lalu, melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti padepokan dan pesantren. Akan
tetapi tradisi-tradisi lain seperti menyelenggarakan penelitian adalah tradisi
baru. Demikian pula, tradisi berpikir kritis-analitis, rasional dan inovatif
adalah kemewahan yang tidak terjangkau tanpa terjadinya perubahan dan
pembaharuan sikap mental dan tingkah laku yang harus terus-menerus
diinternalisasikan dan disosialisasikan dengan menggerus sikap mental
paternalistik dan ewuh-pakewuh yang berlebih-lebihan pada sebagian masyarakat
akademik yang mengidap tradisi lama, terutama dalam paradigma patron-client relationship
yang mendarah daging.
3) Kebebasan Akademik
Pengertian tentang “Kebebasan
Akademik” yang dipilih oleh 144 orang responden adalah Kebebasan yang dimiliki
oleh pribadi-pribadi anggota sivitas akademika (mahasiswa dan dosen) untuk bertanggungjawab
dan mandiri yang berkaitan dengan upaya penguasaan dan pengembangan Iptek dan
seni yang mendukung pembangunan nasional. Kebebasan akademik meliputi kebebasan
menulis, meneliti, menghasilkan karya keilmuan, menyampaikan pendapat, pikiran,
gagasan sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni, dalam kerangka akademis. Kebebasan
Akademik mengiringi tradisi intelektual masyarakat akademik, tetapi kehidupan
dan kebijakan politik acapkali mempengaruhi dinamika dan perkembangannya. Dalam
rezim pemerintahan yang otoriter, kiranya kebebasan akademik akan sulit
berkembang. Dalam kepustakaan internasional kebebasan akademik dipandang
sebagai inti dari budaya akademik dan berkaitan dengan kebebasan.
Dalam masyarakat
akademik di Indonesia, kebebasan akademik yang berkaitan dengan kebebasan
berpendapat telah mengalami penderitaan yang panjang, selama puluhan tahun
diwarnai oleh pelarangan dan pembatasan kegiatan akademik di era pemerintahan
Suharto. Kini kebebasan akademik telah berkembang seiring terjadinya pergeseran
pemerintahan dari Suharto kepada Habibie, dan makin berkembang begitu bebas
pada pemerintahan Abdurrahman Wahid, bahkan hampir tak terbatas dan tak
bertanggungjawab, sampai pada pemerintahan Megawati, yang makin sulit
mengendalikan perkembangan kebebasan berpendapat.
Selain itu, kebebasan akademik
kadangkala juga berkaitan dengan sikap-sikap dalam kehidupan beragama yang pada
era dan pandangan keagamaan tertentu menimbulkan hambatan dalam perkembangan
kebebasan akademik, khususnya kebebasan berpendapat. Dapat dikatakan bahwa
kebebasan akademik suatu masyarakat-bangsa sangat tergantung dan berkaitan
dengan situasi politik dan pemerintahan yang dikembangkan oleh para penguasa.
Pelarangan dan pembatasan kehidupan dan kegiatan akademik yang menghambat
perkembangan kebebasan akademik pada lazimnya meliputi
(1) penerbitan buku
tertentu
(2) pengembangan studi
tentang ideologi tertentu, dan
(3) pengembangan kegiatan kampus,
terutama demonstrasi dan diskusi yang bertentangan dengan ideologi dan kebijakan
pemerintah atau Negara
Ø Prinsip
Dasar Budaya Akademik atau Standar Suasana Akademik Yang Kondusif.
1. Prinsip kebebasan berfikir (kebebasan dalam ilmiah)
2. Prinsip kebebasan berpendapat
Prinsip kebebasan
mimbar akademik yang dinamis, terbuka dan ilmiah, sesuai dengan yang
diamanatkan dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam
implementasinya :
1. Harus dibangun
suasana akademik dengan prinsip :
a. Interaksi mahasiswa dengan dosen
harus dalam bentuk mitra bukan dalam bentuk in-loco parentis (Dosen otoritas,
superior, Mahasiswa kerdil dan tidak ada apa-apa).
b. Secara bersama-sama dosen dan
mahasiswa punya hak yang sama dalam keilmuan dan penelitian, diciptakan secara
terencana, sistematis, kontinu, terbuka, objektif, ilmiah.
c. Harus diciptakan suasana Perguruan
Tinggi yang kondusif yang dapat memberikan ketenangan, kenyamanan, keamanan
dalam proses belajar mengajar (kegiatan akademik).
2. Visi dan misi Perguruan Tinggi yang khas spesifik sampai eksklusif.
3.
Mengarah kepada prinsip-prinsip good govermance sesuai dengan kebutuhan use,
stakeholders.
Ø Meningkatkan
Budaya Akademik / SDM Mahasiswa
1. Menitik
beratkan pada Plan, Do, Check, Action (PDCA), (Plan) rencana yang tepat, matang dalam setiap
aktifitas proses belajar mengajar (Do) dilaksanakan
secara optimal, maksimal dan berkesinambungan. (Check) ada upaya komperatif,
sinergi dan sinkronisasi yang diinginkan dan tujuan, (Action) ada evaluasi dan
gambaran yang logis, ilmiah sehingga dijadikan tolak ukur keberhasilan dan
kegagalan
2. Adanya
Interaksi kegiatan kurikuler yang terstruktur tepat, baik pada beban kurikulum
dan jumlah serta bobot SKS mata kuliah.
3. Model
manajemen yang baik dan terstruktur yang mampu mensinkronisasikan antara tujuan
pribadi (mahasiswa) dengan visi, misi dan tujuan Perguruan Tinggi, pangsa
pasar.
4. Tersedianya
sarana, prasarana dan sumber daya (dosen, karyawan) yang memadai.
Ø Kesadaran
Kritis Dan Budaya Akademik
Merujuk pada redaksi UU RI No. 20
Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab VI bagian ke empat pasal 19 bahwasanya
mahasiswa itu sebenarnya hanya sebutan akademis untuk siswa/ murid yang telah
sampai pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya. Sedangkan
secara harfiah, mahasiswa” terdiri dari dua kata, yaitu Maha yang berarti
tinggi dan Siswa yang berarti subyek pembelajar sebagaimana pendapat Bobbi de
porter, jadi kaidah etimologis menjelaskan pengertian mahasiswa sebagai pelajar
yang tinggi atau seseorang yang belajar di perguruan tinggi/ universitas.
Namun jika kita memaknai mahasiswa
sebagai subyek pembelajar saja, amatlah sempit sebab meski diikat oleh suatu
definisi study, akan tetapi mengalami perluasan makna mengenai eksistensi dan
peran yang dimainkan dirinya. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, mahasiswa
tidak lagi diartikan hanya sebatas subyek pembelajar (study), akan tetapi ikut
mengisi definisi learning. Mahasiswa adalah seorang pembelajar yang tidak hanya
duduk di bangku kuliah kemudian mendengarkan tausiyah dosen, lalu setelah itu
pulang dan menghapal di rumah untuk menghadapi ujian tengah semester atau Ujian
Akhir semester. Mahasiswa dituntut untuk menjadi seorang simbol pembaharu dan
inisiator perjuangan yang respect dan tanggap terhadap isu-isu sosial serta
permasalahan umat manusia.
Apabila kita melakukan kilas balik,
melihat sejarah, peran mahasiswa acapkali mewarnai perjalanan bangsa Indonesia,
mulai dari penjajahan hingga kini masa reformasi. Mahasiswa bukan hanya menggendong
tas yang berisi buku, tapi mahasiswa turut angkat senjata demi kedaulatan
bangsa Indonesia. Dan telah menjadi rahasia umum, bahwasanya mahasiswa lah yang
menjadi pelopor restrukturisasi tampuk kepemimpinan NKRI pada saat reformasi
1998. Peran yang diberikan mahasiswa begitu dahsyat, sehingga sendisendi bangsa
yang telah rapuh, tidak lagi bisa ditutup-tutupi oleh rezim dengan status
quonya, tetapi bisa dibongkar dan dihancurkan oleh Mahasiswa. Mencermati alunan
sejarah bangsa Indonesia, hingga kini tidak terlepas dari peran mahasiswa, oleh
karena itu mahasiswa dapat dikategorikan sebagai Agent of social change
(Istilah August comte) yaitu perubah dan pelopor ke arah perbaikan suatu
bangsa. Kendatipun demikian, paradigma semacam ini belumlah menjadi kesepakatan
bersama antar mahasiswa (Plat form ), sebab masih ada sebagian madzhab
mahasiswa yang apriori ( cuek ) terhadap eksistensi dirinya sebagai seorang
mahasiswa, bahkan ia tak mau tahu menahu tentang keadaan sekitar lingkungan
masyarakat ataupun sekitar lingkungan kampusnya sendiri. Yang terpenting buat
mereka adalah duduk dibangku kuliah menjadi kambing conge dosen, lantas pulang
duluan ke rumah.
Inikah mahasiswa ? Padahal,
mahasiswa adalah sosok yang semestinya kritis, logis, berkemauan tinggi,
respect dan tanggap terhadap permasalahan umat dan bangsa, mau bekerja keras,
belajar terus menerus, mempunyai nyali (keberanian yang tinggi) untuk
menyatakan kebenaran, aplikatif di lingkungan masyarakat serta spiritualis dan
konsisten dalam mengaktualisasikan nilai-nilai ketauhidan kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Dengan Konsep itulah, mahasiswa
semestinya bergerak dan menyadari dirinya akan eksistensi ke-mahahasiswaan nya
itu. Belajar tidaklah hanya sebatas mengejar gelar akademis atau nilai indeks
prestasi ( IP ) yang tinggi dan mendapat penghargaan cumlaude, lebih dari itu
mahasiswa harus bergerak bersama rakyat dan pemerintah untuk membangun bangsa,
atau paling tidak dalam lingkup yang paling mikro, ada suatu kemauan untuk
mengembangkan civitas/ perguruan tinggi dimana ia kuliah. Misalnya dengan ikut
serta/ aktif di Organisasi Mahasiswa, baik itu Organisasi intra kampus ( BEM
dan UKM ) ataupun Organisasi Ekstra kampus, serta aktif dalam kegiatan-kegiatan
lain yang mengarah pada pembangunan bangsa.
2.
Etos
Kerja
·
Pengertian
Etos Kerja
Etos berasal dari
bahasa Yunani (etos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter,
serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu,
tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Dalam kamus besar bahasa Indonesia
etos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang
atau sesesuatu kelompok. secara terminologis kata etos adalah yang mengalami
perubahan makna yang meluas. Digunakan dalam tiga pengertian yang berbeda
yaitu:
-
Suatu aturan umum atau cara hidup
-
Suatu tatanan aturan perilaku.
-
Penyelidikan tentang jalan hidup dan
seperangkat aturan tingkah laku .
Dalam pengertian lain,
etos dapat diartikan sebagai thumuhat yang berkehendak atau berkemauan yang
disertai semangat yang tinggi dalam rangka mencapai cita-cita yang positif. Akhlak
atau etos dalam terminologi Prof. Dr. Ahmad Amin adalah membiasakan kehendak.
Kesimpulannya, etos adalah sikap yang tetap dan mendasar yang melahirkan
perbuatan-perbuatan dengan mudah dalam pola hubungan antara manusia dengan
dirinya dan diluar dirinya .
Dari keterangan diatas
penulis dapat menyimpulkan bahwa kata etos berarti watak atau karakter seorang
individu atau kelompok manusia yang berupa kehendak atau kemauan yang disertai
dengan semangat yang tinggi guna mewujudkan sesuatu keinginan atau cita-cita. Etos
kerja adalah refleksi dari sikap hidup yang mendasar maka etos kerja pada
dasarnya juga merupakan cerminan dari pandangan hidup yang berorientasi pada
nilainilai yang berdimensi transenden.
Menurut
K.H. Toto Tasmara etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya
mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang
mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (high
Performance). Dengan demikian adanya etos kerja pada diri seseorang pedagang
akan lahir semangat untuk menjalankan sebuah usaha dengan sungguh-sungguh,
adanya keyakinan bahwa dengan berusaha secara maksimal hasil yang akan didapat
tentunya maksimal pula. Dengan etos kerja tersebut jaminan keberlangsungan
usaha berdagang akan terus berjalan mengikuti waktu.
·
Fungsi
dan Tujuan Etos Kerja
Secara umum, etos kerja berfungsi
sebagai alat penggerak tetap perbuatan dan kegiatan individu. Menurut A. Tabrani
Rusyan, fungsi etos kerja adalah: Pendorang timbulnya perbuatan, Penggairah
dalam aktivitas, Penggerak, seperti mesin bagi mobil besar kecilnya motivasi
akan menentukan cepat lambatnya suatu perbuatan.
Kerja
merupakan perbuatan melakukan pekerjaan atau menurut kamus W.J.S Purwadaminta,
kerja berarti melakukan sesuatu, sesuatu yang dilakukan. Kerja memiliki arti
luas dan sempit dalam arti luas kerja mencakup semua bentuk usaha yang
dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non materi baik bersifat intelektual
maupun fisik, mengenai keduniaan maupun akhirat. Sedangkan dalam arti sempit,
kerja berkonotasi ekonomi yang persetujuan mendapatkan materi. Jadi pengertian
etos adalah karakter seseorang atau kelompok manusia yang berupa kehendak atau
kemauan dalam bekerja yang disertai semangat yang tinggi untuk mewujudkan
cita-cita.
3.
Sikap
Terbuka dan Adil
·
Pengertian
Keterbukaan dan keadilan
Keterbukaan atau
transparansi berasal dari kata dasar terbuka dan transparan, yang secara
harfiah berarti jernih, tembus cahaya, nyata, jelas, mudah dipahami, tidak
keliru, tidak sangsi atau tidak ada keraguan.
Dengan demikian Keterbukaan atau transparansi adalah tindakan yang
memungkinkan suatu persoalan menjadi jelas mudah dipahami dan tidak disangsikan
lagi kebenarannya. Kaitannya dengan
penyelenggaraan pemerintahan, keterbukaan atau transparansi berarti kesediaan
pemerintah untuk senantiasa memberikan informasi faktual mengenai berbagai hal
yang berkenaan dengan proses penyelenggaraan pemerintahan. Keadilan menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia berasal darai kata adil yang berarti kejujuran,
kelurusan dan keikhlasan dan tidak berat sebelah, tidak memihak, tidak
sewenang-wenang.
Menurut Ensiklopedi Indonesia kata Adil
berart:Tidak berat sebelah atau tidak memihak kesalah satu pihak, Memberikan
sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan hak yang harus diperolehnya,
Mengetahui hak dan kewajiban, mana yang benar dan yang salah, jujur, tepat
menurut aturan yang berlaku. Tidak pilih kasih dan pandang siapapun, setiap
orang diperlakukan sesuai hak dan kewajibannya.
MAKNA BUDAYA AKADEMIK DALAM
PANDANGAN AGAMA ISLAM
1. Makna Budaya Akademik Dalam
Pandangan Islam
Telah dijelaskan di
muka bahwa hakekat manusia terletak pada amal atau eksistensi diri atau
penciptaan kebudayaan yang terus menerus untuk mencapai kesempurnaan dirinya
sebagai manusia (full human). Yang menghentikan proses penciptaan kebudayaan
ini hanya kalau dia meninggal. Amal, bereksistensi, atau aktifitas budaya
(penciptaan, pelestarian, perubahan, penyempurnaan, pemantapan) merupakan
kesatuan dari akal, qalbu, dan aksi budaya serta kesadaran akan tujuannya.
Tujuan seluruh aktifitas kebudayaan adalah pelaksanaan perintah Tuhan. Allah
berfirman
Artinya :
“ dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku “. [1]
Wujud penyembahan atau
pengabdian manusia kepada Allah adalah melaksanakan tugas sebagai khalifah,
memakmurkan bumi, berlaku baik terhadap alam semesta, sesama manusia, dan
Allah. Penghambaan, penyembahan, atau pengabdian itu sebenarnya bukan untuk
menambahkan agar Allah semakin agung, melainkan kepada manusia itu sendiri.
Allah tak berkurang sedikitpun kesempurnaannya. Allah berfirman:
Artinya :
“…. tetapi jika kamu
kafir Maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi
hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji “. [2]
Artinya :
“ ….dan jika kamu
kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena
Sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah, dan
adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana “.[3]
Artinya :
“ dan Musa berkata:
"Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari
(nikmat Allah) Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji ". [4]
Artinya :
“ jika kamu kafir Maka
Sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu….” ( QS. Az Zumar : 7 ).
Mahasiswa
adalah bagian kelas atau spesies manusia. Mahasiswa menempati posisi penting,
strategis, dan terhormat dari kelas manusia. Lebih banyak manusia yang gagal
atau kandas dalam mencita-citakan dirinya menjadi mahasiswa. Tidak sedikit
orang yang menyatakan “masa depan suram” ketika mereka tidak diterima di
perguruan tinggi di mana mereka melakukan test penerimaan mahasiswa baru.
Karena itu menjadi mahasiswa merupakan anugerah Allah yang pantas disyukuri.
Allah berfirman:
Artinya :
“ dan (ingatlah juga),
tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami
akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka
Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih ".[5]
Karena eksistensi mahasiswa adalah belajar, maka ia disebut sebagai manusia
pembelajar yang pengertiannya amat luas, yaitu bukan hanya belajar di sekolah
atau perguruan tinggi, bukan hanya kursus-kursus dan pelatihan (on the job atau
off the job) di berbagai perusahaan, melainkan mencakup:
a. mulai bersikap
jujur, pertama-tama terhadap diri kita sendiri
b. mulai menerima tanggung jawab yang
sesuai dengan kapasitas diri kita
c. mulai dapat
diandalkan dan di pegang kata-katanya
d. mulai mengembangkan
kepedulian sosial dan lingkungan
e. mulai bersikap adil
terhadap sesama tanpa diskriminasi
f. mulai mengembangkan
keberanian menyatakan dan mengaktualisasi diri
g. mulai menjadi rasional tanpa harus memutlakkan
buah pikiran kita yang relatif itu
h. mulai rendah hati
dan menyadari keterbatasan diri
i. mulai pendisiplin
diri (pengaharapan, hasrat, energi, waktu)
j. mulai bersikap
optimis tanpa menjadi naif
k. mulai menyatakan
komitmen dan menepatinya
l. mulai memprakarsai
sesuatu yang baik sekalipun tidak profitable
m. mulai bertekun
(perseverance) dalam mengerjakan sesuatu
n. mulai mampu bekerja sama dengan orang-orang yang
berbeda dengan kita
o. mulai saling
menyayangi satu sama lain
p. mulai memberikan
dorongan dan membangkitkan hati yang lesu
q. mulai memaafkan dan
mengampuni kesalahan orang
r. mulai murah hati dan
senag berbagi
s. mulai memanfaatkan
peluang dan kesempatan
t. mulai mengahayati persudaraan sesama umat, sesama
bangsa, dan sesama manusia.
Semboyan manusia
pembelajar antara lain (Harefa,2000:vi) “Belajar dan mengajar secara berkesinambungan
harus menjadi bagian dari pekerjaan”, begitu kata Peter F. Drucker. Dan hakikat
manusia pembelajar itu sendiri adalah Setiap orang (manusia) yang bersedia
menerima tanggung jawab untuk melakukan dua hal penting, yakni, pertama,
berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya, dengan
selalu berusaha mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa pernyataan
eksistensial seperti “Siapakah aku?”, “Dari manakah aku datang?”, “Ke manakah
aku akan pergi?”, “Apakah yang menjadi tanggung jawabku dalam hidup ini?”, dan
“Kepada siapa aku harus percaya?”; dan kedua, berusaha sekuat tenaga untuk
mengaktualisasikan segenap potensinya itu, mengekspresikan dan menyatakan
dirinya sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya, dengan cara menjadi dirinya sendiri
dan menolak untuk dibanding-bandingkan dengan segala sesuatu yang “bukan
dirinya”.
Dalam Islam dijelaskan bahwa wahyu yang
pertama adalah perintah belajar (membaca) yang tertulis (kitab suci) atau yang
tidak tertulis (alam semesta). Allah berfirman
Artinya :
“ bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan “.[6]Esensi
ayat ini manusia (atas nama Allah) hendaklah membaca, mempelajari apa saja yang
diciptakan Allah. Manusia, khususnya mahasiswa, yang setengah hati atau kurang
memiliki daya fitalitas dalam membaca, meneliti fenomena alam ciptaan Allah
untuk dimanfaatkan sebagai penunjang kehidupan manusia, tidak menghargai diri
sebagai insan akademis.
Harga diri insan
akademis dapat dirumuskan: pertama, mengenai sikap perasaan, dan evaluasi
mengenai diri sendiri; kedua, mengenai proses berpikir, mengingat, dan persepsi
mengenai diri sendiri[7].
Artinya watak diri insan pembelajar adalah keseluruhan potensi internal diri
itulah yang tampil mengemuka sehingga dapat dibedakan secara tegas dengan insan
non akademis, dan insan non pembelajar.
Budaya
insan akademis bukanlah jenis manusia yang bekerja atas dorongan emosional
“hantam dulu urusan belakang”, melainkan penerapan harga diri secara utuh
sebagaimana baru saja disebutkan itu dan emosi menjadi salah satu komponennya,
khususnya menjadi pendorong untuk memperoleh sukses secara akademis yang
memiliki karakter berpikir kritis, kerja keras, jujur, dan fair dalam menggapai
prestise akademis dan selanjutnya bermuara pada kualitas diri sebagai manusia
yang sepenuh-penuhnya. Indikasinya antara lain: memiliki pengetahuan, berilmu,
sikap belajar lebih lanjut, unggul, kompeten, berkepribadian siap pakai,
produktif, dan profesional[8].
Yang secara singkat menurut Islam adalah wakil Tuhan di bumi (khalifat-llah fi
al ard) yang memiliki tanggung jawab kehidupan alam semesta secara makmur,
damai, dan sejahtera.
ETOS KERJA, SIFAT TERBUKA DAN ADIL
DALAM PANDANGAN AGAMA
1. Etos kerja dalam pandangan agama
islam
Sesungguhnya dikotomi
antara "kerja" dengan "belajar" tidak perlu terjadi.
Karena, apabila kita menghayati ikrar kita secara mendalam pada proposisi
"Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in" dalam surat Al-Fatihah, maka
dunia kehidupan kaum Muslimin bernuansa ibadah yang sangat kental. Dalam
firman-Nya yang lain, Allah mengatakan, "Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia, melainkan untuk beribadah,"[9] .Sehingga,
jelas-jelas tidak ada pemisahan antara yang sakral dengan yang profan, yang
duniawi dengan yang ukhrawi.
Ketika mengomentari
ayat, "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad (perjanjian)
itu" [10].Raghib
Isfahani, sebagaimana dikutip Seyyed Hossein Nasr (1994) mengatakan bahwa
perjanjian-perjanjian itu meliputi perjanjian-perjanjian antara Tuhan dan
manusia, yakni kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan; [perjanjian antara
manusia dan dirinya sendiri; dan [perjanjian] antara individu dan sesamanya. Dengan
demikian, perjanjian (uqud) yang dirujuk pada ayat tersebut berkisar antara
pelaksanaan shalat sehari-hari sampai menjual barang dagangan di bazaar, dari
sembah sujud hingga kerja mencari penghidupan. Berangkat dari pandangan dunia
tradisional tersebut yang tidak mendikotomikan antara yang sakral dan yang
profan, maka etos kerja kaum Muslim selayaknya memperhatikan kualitas
pekerjaannya. Ini artinya, dalam bekerja karakteristik spiritual tetap terjaga
dan terpelihara yakni pekerjaan itu dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Tanggung
jawab terhadap kerja berarti kesiapan untuk bertanggung jawab di hadapan Yang
Mutlak karena kerja adalah saksi bagi semua tindakan manusia. Dalam ushuluddin
disebut-sebut perihal konsep ma'ad atau qiyamah yang bila diterjemahkan dalam
keseharian akan sangat mendukung sekali terhadap profesionalisme dalam bekerja.
Di sini konsep ma'ad atau qiyamah bukanlah suatu konsep di langit-langit
Platonik melainkan sesuatu yang hidup, membumi. Penghayatan yang mendalam
terhadap prinsip ma'ad akan berimplikasi positif dan konstruktif terhadap
perkembangan kepribadian kaum Muslim. Setidaknya dengan menghayati prinsip
tersebut, pemuda Muslim tidak mengenal istilah pengangguran. Konon, praktik
shalat wajib di kalangan Syi'ah yang mencakup shalat fajr, shalat siang hari
(Zhuhur dan 'Ashar), dan shalat malam hari (Maghrib dan 'Isya), merupakan
refleksi etos kerja mereka yang begitu tinggi dan manifestasi produktivitas
dalam berkarya. Artinya, bila kaum Syi'ah selesai melaksanakan shalat siang
hari, maka setelah selesai shalat dan zikir, mereka akan kembali bekerja dengan
semangat yang tetap terjaga. Bukan meneruskannya dengan aktivitas yang kurang
produktif dan tidak bermanfaat.
"Kerja
berkaitan erat dengan doa dan hidayah bagi semua masyarakat tradisional dan
kaitan ini dirasakan dan diaksentuasikan dalam Islam," tulis Nasr (1994).
Dengan mengamati lafaz adzan Syi'ah, dengan formulasi hayya 'ala al-shalah,
hayya 'ala al-falah, dan hayya 'ala khair al-'amal, Nasr menyimpulkan bahwa
shalat dan kerja memiliki keterkaitan yang prinsipal. "Di sana hubungan
antara shalat, kerja, dan amal saleh selalu ditekankan," lanjutnya. Perspektif
Islam yang padu, menolak membedakan antara yang sakral dan yang profan, yang
ukhrawi dan yang duniawi, yang religius dan yang sekular atau, secara lebih
spesifik, antara shalat dan kerja. Implikasi praktisnya adalah bahwa
sebagaimana kita mencoba khusyu dalam shalat, maka begitu pula dalam bekerja
kita mencoba untuk meng-khusyu'-kan diri. Dalam bahasa bisnisnya, berusaha
bersikap lebih profesional. Lebih jauh, sebagaimana ketakutan pada Tuhan dan
tanggung jawab kepada-Nya dalam ekspresi shalat kita, maka demikian pula kita
dalam pekerjaan kita. Karena, "Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.
·
Enam
Etos Kerja Menurut Islam (6 prinsip kerja seorang muslim)
1. Kerja
adalah perwujudan rasa syukur atas rahmat dan nikmat Allah. QS.Saba’,34 : 13 “Bekerjalah
untuk bersyukur kepada Allah, dan sedikit sekali dari hamba-hambaku yang
bersyukur”.
2. Kerja
berorientasi hasil yang baik (hasanah) dunia dan akhirat. QS. Al-baqarah,2 :
202 “Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan”.
3. Kerja
berdasarkan realibility (kuat fisik dan mental) dan integrity (jujur, amanah).
Perpaduan emosional, intelektual dan spritual. QS.Al-Qashash, 28 : 26 “
Sesungguhnya oarng yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang
yang kuat lagi dapat dipercaya”.
4. Kerja
berdasarkan semangat dan kerja keras pantang menyerah. Pekerja keras tidak
mengenal kata gagal.
5. Kerja
cerdas, memanfaatkan dan mengoptimalkan sumber daya yang ada secara tepat
(pengetahuan), terampil dan terencana, akurat.
6. Kerja
Ikhlas, merupakan amal dan ibadat yang perlu dihayati, bukan sekedar membayar
kewajiban atau tanggung jawab (kesalehan individual dan komunal, fastabiqul
khairat).
·
Janji
Allah Bagi Etos Kerja Yang Baik
1.
Allah hamparkan jalan untuk menuju
sukses
QS.Ath-Tholak,
65 : 3 “Allah berikan rezki dari segala arah tanpa disangka-sangka”.
2.
Allah jamin kehidupan yang sehat
sejahtera
QS.
Al-‘Araf, 7 :95-96 “Allah ganti kesusahan dengan kesenangan, Allah beri berkah
dari langit dan dari bumi”.
3.
Allah beri balasan untuk dunia dan
akhirat
2.
Sikap
Terbuka pandangan Islam
Inti sikap terbuka
adalah jujur, dan ini merupakan ajaran akhlak yang penting di dalam Islam.
Lawan dari jujur adalah tidak jujur. Bentuk-bentuk tidak jujur antara lain
adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sebagai bangsa, kita amat
prihatin, di satu sisi, kita (bangsa Indonesia) merupakan pemeluk Islam
terbesar di dunia, dan di sisi lain sebagai bangsa amat korup. Dengan demikian
terjadi fenomena antiklimak. Mestinya yang haq itu menghancurkan yang bathil,
justru dalam tataran praktis seolah-olah yang haq bercampur dengan yang bathil.
Tampilan praktisnya, salat ya, korupsi ya. Ini adalah cara beragama yang salah.
Cara beragama yang benar harus ada koherensi antara ajaran, keimanan terhadap
ajaran, dan pelaksanaan atas ajaran. Dapat dicontohkan di sini, ajaran berbunyi
Artinya :“ ….Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar…..” [11]
Manusia merespon
terhadap ajaran (wahyu) itu dengan iman. Setelah itu ia mewujudkan keimanannya
dengan melakukan salat dan di luar pelaksanaan salat mencegah diri untuk
berbuat keji dan munkar. Termasuk koherensi antara ajaran, iman, dan
pelaksanaan ajaran adalah jika terlanjur berbuat salah segera mengakui
kesalahan dan memohon ampunan kepada siapa ia bersalah (Allah atau sesama
manusia). Jika berbuat salah kepada Allah segera ingat kepada Allah dan
bertaubat kepada-Nya. Artinya :“ dan (juga) orang-orang
yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka
ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka…. “[12].Jika
berbuat salah kepada manusia segera meminta maaf kepadanya tidak usah menunggu
lebaran tiba. Pengakuan kesalahan baik terhadap Allah maupun kepada selain-Nya
ini merupakan sikap jujur dan terbuka. Menurut Islam sikap jujur dan terbuka
termasuk baik. Nabi bersabda:
ا ن ا لصد ق يهدى ا لى ا
لبر وا ن ا لبر يهدى ا لى ا لجنة وا ن ا لرجل يصد ق حتى يكتب عند الله صد يقا. وا ن
ا لكذ ب يهد ا لى ا لفجور. وا ن ا لفجور يهدى ا لنا ر. وا ن الرجل ليكذ ب حتى يكتب
عند لله كذا با( متفق عليه)
Artinya: (Sesungguhnya jujur itu
menggiring ke arah kebajikan dan kebajikan itu mengarah ke surga. Sesungguhnya
lelaki yang senantiasa jujur, ia ditetapkan sebagai orang yang jujur.
Sesungguhnya bohong itu menggiring ke arah dusta. Dusta itu menggiring ke
neraka. sesungguhnya lelaki yang senantiasa berbuat bohong itu akan ditetapkan
sebagai pembohong. Muttafaq ‘alaih (an-Nawawi, [t.th.]:42)).
3.
Bersikap Adil menurut pandangan Islam
Secara leksikal adil dapat diaritikan tidak berat
sebelah, tidak memihak, berpegang kepada kebenaran, sepatutnya, dan tidak
sewenang-wenang (Kamus Besar, l990 :6-7) Dari masing-masing arti dapat
dicontohkan sebagai berikut: (1) Cinta kasih seorang ibu terhadap
putra-putrinya tidak berat sebelah. (2) Dalam memutuskan perkara, seorang hakim
tidak memihak kepada salah satu yang bersengketa.(3) Di dalam menjalankan
tugasnya sebagai hakim, Hamid selalu berpegang kepada kebenaran. (4) Sudah
sepatutnya jika akhlaqul-karimah guru diteladani oleh murid.(5) Pemimpin yang
baik adalah pemimpin yang tidak berbuat sewenang-wenang terhadap yang dipimpin.
Dari masing-masing contoh ini dapat disimpulkan bahwa sikap adil amat positif
secara moral. Karena sifat yang positif, tentu sikap adil didambakan oleh
banyak orang. Dalam contoh-contoh di atas, sikap adil bersikap positif atau
menguntungkan orang lain. Adil juga dapat dartikan tingkah laku dan kekuatan
jiwa yang mendorong seseorang untuk mengendalikan amarah dan syahwat dan
menyalurkannya ke tujuan yang baik (al-Hufiy, 2000: 24). Dalam definisi ini
dapat dipahami bahwa adil adalah kondisi batiniah seseorang yang berbentuk
energi. Energi ini mendesak keluar untuk mengendalikan amarah dan
kemauan-kemauan hawa nafsu sehingga perbuatan yang keluar menjadi baik. Yang
mestinya orang itu menuruti hawa nafsu, karena kendali sikaprbuatannya menjadi
terarah, tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.
Adil dapat diartikan menempatkan berbagai kekuatan
batiniah secara tertib dan seimbang[13] .Kekuatan
yang dimaksud adalah al-hikmah, asy-syaja’ah, dan al-‘iffa.al-Hikmah berarti
kecerdasan. Orang cerdas dapat membedakan antara yang benar dan salah, baik dan
buruk, haq dan batal secara tepat, tetapi belum tentu ia selalu memilih yang
benar, yang baik, dan yang haq. Asy-syaja’ah berarti berani tanpa rasa takut. Al-‘ffah
berarti suci. Ketiga sifat utma ini jika tidak seimbang menjadi tidak baik.
Orang amat cerdas atau genius tetapi kecerdasannya dapat dijadikan alat untuk
mengelabuhi orang lain karena tidak ada ‘iffah di dalam dirinya. Orang selalu
berani menangani setiap masalah yang dihadapi, tentu akan menampakkan profil
preman karena tidak ada al-hikmah dan ‘iffah di dalam dirinya. Orang cerdas dan
berani lalu digunakan untuk mengeruk kekayaan negara secara tidak syah adalah
tidak baik karena tidak ‘iffah di dalam dirinya. Orang selalu hanya memilih
kesucian dalam semua suasana secara terang-terangan tentu dapat membahayakan
diri sendiri.
Jika antara al-hikmah, asy-syaja’ah, dan al-‘iffah
berpadu secara seimbang dalam diri seseorang, maka orang itu akan bersikap
adil. Orang berani melakukan sesuatu setelah ditimbang-timbang bahwa sesuatu
itu baik menurut akal dan menurut pertimbangan syariat juga baik . inilah
gambaran perbuatan adil. Berarti, ia berani berbuat karena benar. Orang tidak
berani berbuat juga karena benar, adalah bersikap adil, bukan karena takut.
Dengan dimikian adil adalah puncak dari ketiga sifat utama tersebut.
Islam memandang sikap adil amat fundamental dalam
struktur ajaran. Kata adil dan berbagai turunannya seperti : ya’dilun, i’dilu,
‘adlun, dan ta’dili diulang sebanyak 28 kali di dalam Alquran. Karena itu Allah
memerintah kepada kita supaya berlaku adil dalam semua hal. Allah berfirman:
Artinya :“...Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa...”[14] Kata adil sinonim dengan al-qish.
Kata ini dan berbagai derivasinya, umpama: iqshitu, al-muqshitun, dan
al-qashitun terulaqng sebanyak 25 kali dalam Alquran (‘Abd al-Baqiy, [t.th.]
:P690). Kadang-kadang kata adil dan kata al-qisht disebut secara besama-sama
dan satu sama lain berarti sama. Contohnya adalah:
Artinya :“
dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah
kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian
terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai
surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara
keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang Berlaku adil “. [15]
Karena baik secara rasional maupun
syariah bahwa sikap adil itu adalah baik dan positif, tetapi di sisi lain kita
merupakan pemeluk agama Islam terbesar dunia dan di saat yang sama dikenal
sebagai bangsa dengan aneka predikat yang tidak baik seperti KKN (korupsi,
kolusi, dan nepotisme), maka untuk merubah citra buruk itu salah satu cara
strategis adalah membudayakan sikap adil dalam semua lapangan kehidupan. Untuk
mewujudkan sikap adil harus dilatih terus menerus secara berkesinambungan, yang
bererti pembiasaan berlaku adil. “Mulai sekarang, mulai yang sederhana, dan
mulai dari diri sendiri”,Inilah komitmen untuk mulaiu pembiasaan berlaku adil.
Jika langkah awal ini dapat dilalui dengan baik, tentu mudah menjalar kepada
orang lain, apalagi kalau yang memulai komitmen itu adalah orang yang memiliki
pengaruh di masyarakat di mana ia berada karena salah satu naluri manusia
adalah meniru idola. Jika idola tidak bersikap adil, tentu para fansnya akan
meniru tidak adil pula. Dalam Islam orang yang paling pantas untuk di dudukkan
sebagai idola untuk ditiru dan diteladani adalah Rasulullah SAW. Allah
berfirman Yang Artinya :“ Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah “[16].Selain
itu ‘Aisyah, istri Rasulullah, menyebutkan bahwa akhlak beliau adalah Al-Quran
“kana khuluqulm Al-Quran” (H.R Muslim dari ‘Aisyah). Kiranya terlalu pantas
jika idola pertama seluruh umat Islam adalah Rasulullah. Hingga sekarang
Rasulullah adalah orang yang paling berpengaruh di dunia (rangking pertama)
dari seratus orang yang paling berpengaruh di dunia[17].
Cukup banyak contoh-contoh sikap adil yang ditampakkan oleh Rasulullah, antara
lain: An-Nu’man bin Basyir mengatakan, “Ayahku memberi sesuatu pemberian
kepadaku. Lalu ibuku Amrah bin Rawahah berkata, “Aku tidak rela sebelum engkau
persaksikan hadiah itu di hadapan Rasulullah SAW”.
Ayahku lalu menghadap Rasulullah SAW dan berkata, “Ya
Rasulullah, sesungguhnya aku telah membarikan suatu pemberian kepada anakku
dari Amrah bin Rawahah. Kemudian aku diperintahkannya supaya bersaksi kepada
Tuan!” Rasulullah SAW lalu berkata, “Apakah engkau juga telah memberi kepada
semua anakmu pemberian seperti ini?” An-Nu’man menjawab, “Tidak”. Beliau lalu bersabda,
“bertaqwalah kepada Allah dan berlaku adillah terhadap anak-anakmu!”
Kemudian ayahku pulang
dan menarik kembali pemberiannya. Dan Ada orang perempuan Makhdzumiyyah
mencuri. Kejadian itu sangat orang-orang Quraisy. Mereka berkata, “Siapakah
yang akan membicarakan hal ini kepada Rasulullah SAW?” Tidak ada seorangpun
yang berani kecuali (kekasih wanita itu) Usman bin Zaid r.a. Lalu ia
membicarakan hal tersebut dengan Rasulullah SAW. Beliau berkata, “Apakah kamu
akan bertindak sebagai pembela dalam pelanggarana hukum Allah?” Kemudian
Rasulullah SAW berdiri serta berkhotbah. Di antara isi khotbahnya beliau
bersabda, “Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah
apabila ada seorang dari golongan bangsawan mencuri, mereka biarkan saja, tetapi
bila yang mencuri itu dari golongan bawah (lemah), dia dijatuhi hukuman. Demi
Allah andaikata Fatimah putri Muhammad mencuri, pasti akan kupotong tangannya.”
[18]
Al-Qur''an menggunakan pengertian yang berbeda-beda bagi
kata atau istilah yang bersangkut-paut dengan keadilan. Bahkan kata yang
digunakan untuk menampilkan sisi atau wawasan keadilan juga tidak selalu
berasal dari akar kata ''adl. Kata-kata sinonim seperti qisth, hukm dan
sebagainya digunakan oleh al-Qur''an dalam pengertian keadilan. Sedangkan kata
''adil dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi keadilan itu
(ta''dilu, dalam arti mempersekutukan Tuhan dan ''adl dalam arti tebusan). Kesimpulan
di atas juga diperkuat dengan pengertian dan dorongan al-Qur''an agar manusia
memenuhi janji, tugas dan amanat yang dipikulnya, melindungi yang menderita,
lemah dan kekurangan, merasakan solidaritas secara konkrit dengan sesama warga masyarakat, jujur dalam bersikap, dan
seterusnya.
Menurut Abdul Halim
Hifni, Syariat Islam menuntut kita untuk berbuat adil dalam segala hal dan adil
dengan semua orang dengan memberikan hak masing-masing sesuai dengan haknya.
Diri kita memiliki hak yang harus diberikan kepadanya. Kerabat, tetangga
memiliki hak atas diri kita demikian pula masyarakat. Memberi hak kepada orang
yang harus menerimanya adalah wajib dan tidak memberikannya adalah satu
kezaliman. Sesuai dengan firman Allah : “Dan Janganlah kebencianmu terhadap
suatu kaum mendorongmu untuk berbuat tidak adil. Bersikap adillah karena adil
itu lebih dekat kepada taqwa”[19]. Adil
terhadap Siapapun itu orangnya, berarti anda harus memberikan kesempatan
kepadanya untuk menyampaikan pendapatnya secara bebas dan terbuka.
http://modulislam.blogspot.com/2009/11/v-behaviorurldefaultvml-o_3025.html
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Budaya
akademik (Academic culture), Budaya Akademik dapat dipahami sebagai suatu
totalitas dari kehidupan dan kegiatan akademik yang dihayati, dimaknai dan
diamalkan oleh warga masyarakat akademik, di lembaga pendidikan tinggi dan
lembaga penelitian. Dalam islam kita dianjurkan untuk menempuh pendidikan yang
paling tinggi, oleh karenanya setiap insan yang bisa menempuh kediatan
akademisi dengan baik sesuai norma agam islam akan beroleh tempat yang tinggi
di akhirat kelak.
2. Etos
kerja menurut islam bukanlah
semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga
dengan menghabiskan waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore, terus
menerus tak kenal lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau
pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan
masyarakat sekelilingnya serta negara. Dengan kata lain, orang yang berkerja
adalah mereka yang menyumbangkan jiwa dan enaganya untuk kebaikan diri,
keluarga, masyarakat dan negara tanpa menyusahkan orang lain. Oleh karena itu,
kategori ahli Syurga seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an bukanlah orang
yang mempunyai pekerjaan/jabatan yang tinggi dalam suatu perusahaan/instansi
sebagai manajer, direktur, teknisi dalam suatu bengkel dan sebagainya. Tetapi
sebaliknya Al-Quran menggariskan golongan yang baik lagi beruntung (al-falah)
itu adalah orang yang banyak taqwa kepada Allah, khusyu sholatnya, baik tutur
katanya, memelihara pandangan dan sikap malunya pada-Nya serta menunaikan
tanggung jawab sosialnya seperti mengeluarkan zakat dan lainnya
3. Inti
sikap terbuka adalah jujur, dan ini merupakan ajaran akhlak yang penting di
dalam Islam. Lawan dari jujur adalah tidak jujur, islam sangat mengutamakan
tindakan yang jujur dan adil.
B.
Saran
Demikian makalah ini kami buat, semoga
dapat bermanfaat bagi rekan-rekan mahasiswa, dan dapat dijadikan sumber
referensi serta apabila ada kekurangan atau ada salah dalam penulisan dalam
makalah ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar makalah ini dapat lebih
baik lagi.
[1] ( QS. Adz
Dzariyat : 56 ).
[2] ( QS An Nisa’ :
131 )
[4] ( QS. Ibrahim : 8
).
[7] (Evita &
Sutarkinah, 2006:40)
[8] (Harefa,
2000:64).
[11] ( QS. Al ‘Ankabut
: 45 ).
[13] (al-Hufiy, 2000
:26).
[15]
(
QS. Al Hujurat : 9 ).
[16] ( QS. Al Ahzab :
21 ).
[17] (Hart, 1982:4)
[18] (Al-hufiy,
2000:189)
[19] Q.S Al-Maidah :
8. Hlm. 8
Comments
Post a Comment